Putusan MK bersifat final and binding, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Namun pada faktanya terdapat Putusan MK yang tidak sejalan dengan prinsip final and binding karena ditemukan adanya inkonsistensi yang terjadi pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 terhadap Putusan MK Nomor 97/PUUXI/2013. Sehingga fokus permasalahan dalam skripsi ini adalah Pertama, apa faktor yang menyebabkan terjadinya inkonsistensi pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 terhadap Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, dan kedua, bagaimana implikasi yang ditimbulkan atas terjadinya inkonsistensi pada putusan Mahkamah Konstitusi terhadap prinsip final and binding.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dengan sumber bahan hukum sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka dan analisis dilakukan secara deskriptif normatif. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konsep dan pendekatan kasus.
Hasil dari penelitian ini diantaranya: pertama, faktor yang menyebabkan inkonsistensi adalah karena adanya perubahan komposisi hakim yang berpengaruh pada pertimbangan hukum Mahkamah dan perbedaan metode penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah. Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 cenderung menggunakan metode penafsiran gramatikal yang memberikan penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam memberikan makna terhadap sesuatu objek. Sedangkan Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022, cenderung menggunakan metode penafsiran historis dengan mengetahui makna yang terkandung dalam undangundang melalui penelusuran dan analisis terhadap sejarah penyusunannya. Putusan ini juga menerapkan konsep living constitution, yaitu menyesuaikan permasalahan yang terjadi dengan kondisi terkini. Kedua, inkonsistensi yang terjadi kemudian tidak serta merta membuat putusan tersebut kehilangan sifat final and binding. Hal ini
karena sifat final and binding Putusan MK merupakan sebuah kekhususan yang dimiliki oleh MK untuk memastikan kepastian hukum dan menjaga otoritas MK sebagai penafsir dan pelindung konstitusi