Saat ini ruang untuk pembangunan industri pertanian, pertambangan, HTI, perumahan dan lainnya sebagian besar atau seluruhnya diperoleh dengan mengkonversi kawasan hutan. Hutan juga merupakan ekosistem yang dihuni oleh berbagai jenis satwa liar dan perkembangan ini secara tidak sengaja berdampak pada ekosistem satwa liar. Sehingga konflik antara manusia dan satwa liar semakin meningkat karena habitat dan pakannya semakin berkurang. Banyak satwa liar yang meninggalkan hutan dan memanfaatkan kebun masyarakat sebagai sumber makanan, seperti orangutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap konflik orangutan dengan masyarakat, serta mengetahui intensitas konflik dalam 5 tahun terakhir, apakah terjadi peningkatan, dan mengetahui cara penyelesaian konflik orangutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan langsung, kemudian melakukan wawancara dengan berpedoman pada kuesioner yang dilakukan kepada masyarakat setempat sebanyak 40 responden, kemudian analisis data secara kualitatif melalui tahap pengelompokan dan tabulasi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah intensitas konflik di 4 desa selama 5 tahun terakhir cukup tinggi karena orangutan sering masuk ke kebun masyarakat untuk mencari makan. Secara umum masyarakat mengetahui keberadaan orangutan di sekitar desa dan juga mengetahui bahwa orangutan dilindungi sehingga masyarakat tidak berani menangkap atau membunuhnya. Konflik orangutan juga dipengaruhi oleh pembukaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan yang berdampak pada habitat orangutan, sehingga rusaknya habitat dan hilangnya sumber pakan menyebabkan orangutan memasuki perkebunan masyarakat untuk mencari makan. Masyarakat yang mengalami konflik dengan orangutan mempunyai pandangan negatif dan menganggap orangutan sebagai hama yang sangat merugikan. Untuk mengatasi konflik tersebut, masyarakat meminta perusahaan memindahkan orangutan tersebut ke habitatnya.