Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi strategi pengembangan kompetensi ASN oleh Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Balikpapan, serta mengidentifikasi faktor penghambat dalam pelaksanaan pengembangan kompetensi ASN Kota Balikpapan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, selanjutnya fokus penelitian diantaranya, program, anggaran, dan prosedur dengan memperhatikan faktor penghambatnya. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data model kualitatif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis menunjukkan bahwa, implementasi strategi pengembangan kompetensi ASN oleh BKPSDM Kota Balikpapan telah terlaksana berdasarkan program yang telah direncanakan dalam Rencana Tahunan Kebutuhan Pengembangan ASN yang telah disetujui oleh Kepala BKPSDM Kota Balikpapan. Program pengembangan ASN terbagi menjadi dua program yaitu program pengembangan teknis dan program sertifikasi, kelembagaan, pengembangan kompetensi manajerial dan fungsional. Pada pelaksanaan pengembangan kompetensi ASN di Kota Balikpapan membutuhkan anggaran yang berasal dari APBD Kota Balikpapan yaitu dengan besar persentase sekitar 0,3% dari APBD Kota Balikpapan. Pada program pengembangan sumber daya manusia di tahun 2016-2021 memiliki total pagu sebesar Rp11.124.934.208,22 dan semuanya telah habis terserap berdasarkan alokasinya masing-masing. Prosedur dalam pelaksanaan pengembangan kompetensi ASN telah didasarkan pada ketentuan dan peraturan yang ada, prosedur untuk setiap pelaksanaan diklat juga telah dirancang dan disesuaikan dengan keadaan yang ada dengan tujuan untuk menjaga agar setiap kegiatan dikerjakan sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditetapkan demi tercapainya kelancaraan dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan kompetensi ASN. Faktor penghambat dalam implementasi strategi pengembangan kompetensi ASN yang dilakukan oleh BKPSDM Kota Balikpapan diantaranya yaitu adanya perubahan peraturan terkait pengembangan kompetensi ASN, keterbatasan anggaran, rendahnya minat ASN untuk mengembangkan kompetensi, dan kurangnya koordinasi para pihak penyelenggara diklat