Dwi Rahayu Rohmat Putra, NIM 1608015091, Samarinda, 20 Januari 1998, Minat Studi Hukum Internasional, Tanggung Jawab Pihak Peluncur Terhadap Space Debris Berdasarkan Hukum Internasional, dibawah bimbingan Ibu Rika Erawaty S.H., M.H. selaku pembimbing utama dan Ibu Wiwik Harjanti S.H., LL.M. selaku pembimbing pendamping. Istilah space debris merujuk pada puing-puing (sampah ruang angkasa) dari masa benda-benda mati yang dibuat secara artifisial di ruang angkasa, terutama orbit bumi, termasuk satelit tua dan tahap roket yang dihabiskan, serta fragmen dari disintegrasi dan tabrakan mereka. Dalam hukum antariksa negara merupakan subjek hukum utama yang memiliki kewenangan dan memiliki kecakapan dalam hukum internasional. Suatu negara dalam melakukan kegiatan harus dibarengi dengan apa yang menjadi tanggung jawab negara jika merugikan negara lain. Pertanggungjawaban memiliki dua pengertian, yaitu responsibility dan liablility namun memiliki konotasi yang berbeda. Pertanggungjawaban tersebut diatur dalam Outer Space Treaty 1967 dan secara lebih mendalam diatur dalam Liability Convention 1972. Dalam kedua perjanjian tersebut tidak mengatur tentang pertanggungjawaban pihak swasta sebagai pihak yang turut serta meluncurkan objek ke ruang angkasa. Hukum ruang angkasa nasional dapat dijadikan upaya untuk meminta pertanggungjawaban pihak swasta dalam kegiatan ruang angkasa yang tidak diatur dalam hukum ruang angkasa internasional. Ada 4 negara yang menerapkannya, salah satunya Swedia, Inggris, Rusia dan Amerika Serikat. Secara garis besar bentuk tanggung jawab pihak swasta dalam kegiatan ruang angkasa tersebut adalah asuransi tanggung jawab (indemnifikasi).