Undang-undang yang ada di Indonesia dianggap kurang dapat melindungi korban kejahatan seksual siber berupa non-consensual pornography dan justru dapat menjerat balik korban karena dianggap berpartisipasi membuat konten pornografi tersebut. World Wide Web (WWW) Foundation melakukan survey pada 86 negara, termasuk Indonesia dan menemukan kalau 74% lembaga penegak hukum dan pengadilan gagal mengambil tindakan yang sesuai untuk kasus kejahatan online yang terjadi pada perempuan. Tidak jarang pula kroban penyebaran konten pornografi tersebut justru dipersalahkan saat foto dan/atau video yang tadinya untuk konsumsi pribadi kemudian tersebar dan menjadi konsumsi publik sehingga perlu ditegaskan posisi korban dan haknya untuk dilindungi oleh hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah doctrinal yang mengandung karakter normatif. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yang berupa ketentuan perundangundangan serta aturan lainnya di bawah undang-undang yang relevan dan berkaitan dengan penelitian, bahan hukum sekunder berupa literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian, dan bahan hukum tersier seperti surat kabar, ensiklopedia, Kamus Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kedudukan korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi Indonesia tidaklah menguntungkan karena model pemberdayaan korban yang diterapkan dalam sistem hukum Indonesia merupakan model pelayanan yang menempatkan kedudukan korban hanya sebagai saksi yang memberikan kesaksian atas penderitaan yang dialaminya dan perlindungan korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi dapat dilakukan melalui upaya pre-emtif, preventif, dan represif.